Keberhasilan pendidikan, khususnya di Sekolah tidak hanya
ditentukan oleh kemahiran guru dalam mengajar. Namun lebih kepada bagaimana ia
mendidik para siswanya. Guru yang baik adalah seseorang yang bisa mengajar
sekaligus bisa mendidik para siswanya. Dengan kemampuannya untuk mengajar dan
mendidik secara baik, akan dihasilkan anak-anak yang tidak hanya pandai secara
intelektual, namun juga secara akhlak dan keimanan. Pada akhirnya akan
menghasilkan generasi penerus yang arif dan bijaksana.
Mengajar hanya terbatas pada pemberian materi atau bahan
ajar, sedangkan mendidik lebih kepada bagaimana sikap dan perilaku guru dalam
keseharian. Ia akan menjadi model atau figur teladan bagi peserta didik. Oleh
karena itu, mengajar itu penting, namun lebih penting lagi adalah kegiatan
mendidik. Mengajar lebih mengarah kepada bagaimana membangun kecerdasan pikiran
manusia; membangun manusia-manusia yang pandai secara intelektual. Kegiatan
mendidik lebih condong kepada proses bagaimana menyadarkan peserta didik dapat
mengubah dirinya menjadi manusia seutuhnya, baik secara intelektual, spiritual,
moral dan sosial. Penyadaran itu tidak bisa dilakukan melalui pengajaran saja,
tetapi terutama lewat pendidikan di mana prinsip keteladanan dari sang guru
diberlakukan. Tanpa sebuah keteladanan (melalui kata maupun tindakan) yang
baik, seorang siswa yang nakal akan tetap menjadi nakal, bahkan mungkin akan
semakin nakal.
Sebagai pendidik,
tentu pernah merasa tidak suka terhadap sikap peserta didik yang nakal dan
selalu membuat masalah (ulah). Namun kita harus sangat berhati-hati dalam
mengekspresikan perasaan itu. Kita tidak boleh dengan serta merta membentak
apalagi menampar anak seperti itu. Kadangkala, siswa yang nakal dan bermasalah,
hanya menjadikan kenakalan itu sebagai alat untuk mencari perhatian dari teman
atau gurunya. Di sinilah perlunya keteladanan dari seorang pendidik terutama
teladan untuk menunjukkan sikap empati.
Oleh karena itu,
peran seorang pendidik dalam menolong siswanya, terutama bagi yang bermasalah
sangat diharapkan. Pengabdian yang tanpa pamrih serta sikap empati seorang guru
sangat berarti bagi mereka. Berempati adalah sikap peduli kepada orang lain
secara nyata, baik dalam kata maupun tindakan. Guru yang berempati adalah sosok
yang murah senyum, ramah, lembut tetapi tegas. Ia tidak akan mudah marah kepada
siswa yang membuat ulah. Ia akan mencari tahu mengapa siswa itu begitu; solusi
apa yang tepat untuk memecahkan masalah itu.
Marah terhadap
hal/tindakan salah dari siswa boleh saja, tetapi jangan asal marah. Kalau guru
hanya marah-marah dan menyalahkan siswa bermasalah, tanpa memberi perhatian dan
solusi tepat, justru akan menambah beban baginya. Guru yang baik harus tetap
memberikan pengarahan dan bimbingan serta kasihnya. Dengan demikian, guru
benar-benar bisa berperan menjadi orang tua di Sekolah bagi para siswanya. Ia
tidak lagi menjadi sosok yang terlihat galak dan menakutkan. Ia justru akan
menjadi sahabat bagi nara didiknya.
Tidak berlebihan jika
guru dikenal sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa, yang selalu memiliki
semangat untuk mengabdi tanpa pamrih. Dalam dirinya terdapat prinsip luhur
bahwa menjadi guru adalah panggilan ilahi. Kalau guru adalah pahlawan, maka ia
seharusnya mau berjuang bagi banyak orang, terutama bagi siswanya. Ia
mencelikkan mata yang buta pengetahuan, membebaskan mereka yang terbelenggu
kebodohan serta memberi tuntunan kepada mereka yang tidak tahu arah tujuan. Ini
adalah pengabdian besar dan tidak mudah. Guru yang memiliki empati, tidak akan
pernah menjadikan Sekolah sebagai lahan bisnis, melainkan lahan perjuangan
untuk membangun generasi muda yang arif dan bijaksana. Guru yang baik tidak
hanya menguasai bidang pengajarannya, tetapi juga yang sadar akan tugasnya
sebagai pendidik. Ia sadar sepenuhnya bahwa siswanya tidak hanya meneladani apa
yang ia ajarkan malalui KBM dalam kelas, tetapi terlebih dari sikap dan
perilaku sang guru. Berikan hatimu wahai guru, maka ‘kan kau lihat secercah
perubahan pada nara didikmu.